aaWnxJmZI5JY8FKCUvVg7FjFvZvkz69jLNXN7cby

10 Puisi Sapardi Djoko Damono Part 3

Puisi, Sapardi Djoko Damono, Kumpulan Puisi

AKU INGIN 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


SIHIR HUJAN 

Hujan mengenal baik pohon, jalan,
dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan;
kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu
atau jendela. Meski pun sudah kaumatikan lampu.

Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh
di pohon, jalan, dan selokan –
menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh
waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan


PADA SUATU HARI NANTI 

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku  pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari

Baca Juga: 10 Puisi Sapardi Djoko Damono Part 1

TERBANGNYA BURUNG 

terbangnya burung
hanya bisa dijelaskan
dengan bahasa batu
bahkan cericitnya
yang rajin memanggil fajar
yang suka menyapa hujan
yang melukis sayap kupu-kupu
yang menaruh embun di daun
yang menggoda kelopak bunga
yang paham gelagat cuaca
hanya bisa disadur
ke dalam bahasa batu
yang tak berkosa kata
dan tak bernahu
lebih luas dari fajar
lebih dalam dari langit leb
h pasti dari makna
sudah usai sebelum dimulai
dan sepenuhnya abadi
tanpa diucapkan sama sekali


KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA

kupandang kelam yang merapat ke sisi kita;
siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba
(malam berkabut seketika); barangkali menjemputku
barangkali berkabar penghujan itu

kita terdiam saja di pintu; menunggu
atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;
kenalkah ia padamu, desakmu (kemudian sepi
terbata-bata menghardik berulang kali)

baying-bayangnya  pun hampir sampai di sini; jangan
ucapkan selamat malam; undurlah pelahan
(pastilah sudah gugur hujan
di hulu sungai itu); itulah Saat itu, bisikku

kukecup ujung jarimu; kau  pun menatapku:
bunuhlah ia, suamiku (kutatap kelam itu
baying-bayang yang hampir lengkap mencapaiku
lalu kukatakan: mengapa Kau tegak di situ)


VARIASI PADA SUATU PAGI 

(i)
sebermula adalah kabut; dan dalam kabut
senandung lonceng, ketika selembar dauh luruh,
setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput
(kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?)

(ii)
dan cahaya (yang membasuhmu pertama-tama)
bernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya
(yang menawarkan kicau burung) susut tiba-tiba
pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa

(iii)
menjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak
ketika seekor burung, menyambar capung
(Selamat pagi pertama bagi matahari), risau bergerak-gerak
ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung


MALAM ITU KAMI DI SANA

“Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?” sebuah stasiun
di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron
menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya
meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja

kami sedang menanti kereta yang bisa tiba
setiap kali tiada seorang  pun siap memberi tanda-tanda;
barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini
ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;

hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;
sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara
sementara baying-bayang putih di seluruh ruangan,
“Tetapi katakan dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke  mari?”

Baca Juga: 10 Puisi Sapardi Djoko Damono Part 2

MATA PISAU 

mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir; ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.


SAJAK, 1 

Begitulah, kami bercakap sepanjang malam: berdiang pada
suku kata yang gosok menggosok dan membara.
“Jangan diam, nanti hujan yang menge pung kita akan menidurkan kita dan
menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!”
Baiklah, kami  pun bercakap sepanjang malam: “Tetapi begitu
cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai
beterbangan dan menyesakkan udara dan…”


SAJAK, 2 

Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan  pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajak-sajakku sebab kata
kata di dalamnya berujud anak panaj yang dilepas oleh Rama.
Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di sela-sela
kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal
beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah,
membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu.
Related Posts

Related Posts